Senin, 05 April 2010

Dibo Piss


Dibo Piss, Wiraswastawan yang Sisihkan Laba untuk Hidupi Mobil Jenazah Gratis di Jakarta
Nyicil Enam Mobil, Sudah Bantu 5.000 Almarhum

Dibo Piss hanya lulusan sekolah setingkat SMA. Berkat keuletannya, dia sukses berwiraswasta meskipun bukan tergolong kakap. Yang menarik, sebagian laba usahanya digunakan untuk membeli enam mobil secara kredit. Semua adalah mobil jenazah bagi warga tak mampu.

PRIYO HANDOKO, Jakarta

---

Suzuki APV silver dengan keranda jenazah di dalamnya tampak diparkir di depan toko. Nama toko itu Dibo Digital Printing. Di sisi pintu bagian depan mobil APV bernopol B 1624 KD itu ada tulisan Relawan Dibo Piss, lengkap dengan logo. Di sisi pintu tengah terdapat tulisan Mobil Jenazah Gratis yang mencolok.

Mobil tersebut adalah salah satu di antara enam mobil jenazah gratis yang dioperasikan Dibo Piss. Dia adalah pemilik sekaligus pengelola Dibo Digital Printing.

Nama asli Dibo Piss sebenarnya Firman Abadi. Tapi, di dunia slankers (sebutan bagi penggemar grup musik Slank), pria kelahiran Bukit Tinggi, 19 Juni 38 tahun lalu, itu lebih populer dengan panggilan Dibo Piss.

Firman atau Dibo Piss menjadi ketua Slankers Klub Jakarta tiga periode, sejak 1998 hingga sekarang. ''Aku masih menyimpan koleksi album-album Slank. Lengkap,'' kata Dibo saat ditemui di tokonya yang berada di Jalan Pasar Minggu No 2, Duren Tiga, Jakarta Selatan, Rabu siang pekan lalu (31/3).

Alumnus STM Negeri I Budi Utomo, Jakarta, pada 1993 itu menuturkan, dirinya mulai menekuni jasa sablon sejak masa sekolah. Namun, dia baru bisa menyewa kios berukuran 2 x 2 meter pada 2002. Lokasinya berada di mulut Jalan Potlot III, yang identik sebagai markas Slank. Toko lama Dibo itu berseberangan dengan toko Dibo Digital Printing saat ini.

Dari sablon kecil-kecilan, usaha yang dirintis Dibo berkembang pesat. Sekitar 2004, dia menyewa toko yang berukuran lebih luas. Bahkan, pada 2006, Dibo menambah lagi satu kavling. Satu untuk operasionalisasi digital printing. Yang satu lagi difungsikan sebagai toko aksesori Slank. Mulai dompet, tas kecil, bendera, stiker, pin, gantungan kunci, kaus, sandal, hingga tali pinggang. Ada juga baju muslim dengan pernik-pernik bordir bertulisan Slank. Suasana toko tampak ramai pembeli.

Dibo menceritakan, dari hasil usaha itulah dirinya bisa membeli dan mengoperasikan mobil jenazah yang digratiskan. Mobil pertama dia beli pada 2007. Hingga 2010, dia memiliki enam unit mobil. Lima mobil APV yang harganya Rp 150 juta per unit dan satu mobil Carry keluaran 2003. Semua kendaraan itu dibeli secara kredit.

''Belum ada satu pun mobil yang lunas,'' katanya, lantas tersenyum. Menurut Dibo, tagihan untuk enam mobil itu Rp 23 juta per bulan. Semua bisa ditutupi dari laba Dibo Digital Printing? ''Dari menyisihkan rezeki ternyata bisa. Saya hanya mencoba untuk berbuat baik dengan segala kekurangan yang ada,'' katanya merendah.

Pembelian mobil jenazah itu sejalan dengan upaya Dibo merintis pendirian organisasi kemasyarakatan bernama Relawan Dibo Piss pada 2007. Untuk keperluan sekretariat Relawan Dibo Piss, ayah Zulfa, 6; dan Kanza, 1,5, itu kembali menyewa satu kavling tempat lagi tepat di sebelah Dibo Digital Printing.

''Ini semua teman-teman, ada juga yang relawan'' kata Dibo saat memperkenalkan belasan orang yang tengah berkumpul di sekretariat. Kondisi sekretariat tampak sederhana, namun tertata rapi. Menurut Dibo, di tempat itulah para relawan menerima permintaan pelayanan mobil jenazah gratis. Ada empat saluran telepon yang bisa digunakan untuk menghubungi Relawan Dibo Piss. ''Hingga sekarang, kami sudah membantu lebih dari 5.000 almarhum,'' tutur Dibo.

Dia menjelaskan, untuk pelayanan dalam kota, Relawan Dibo Piss menggratiskan biaya sepenuhnya. Tapi, untuk luar Jakarta, karena keterbatasan anggaran, mereka terpaksa mematok tarif. Relawan Dibo Piss pernah mengantar jenazah hingga ke Madura dan Jambi. Bahkan, mereka juga membantu memulangkan jenazah ke Medan dan Kendari dengan menggunakan kargo pesawat.

Meskipun tetap menarik biaya, Relawan Dibo Piss tidak berorientasi pada profit. ''Kalau ke luar Jakarta, kami hanya mengambil 50 persen dari tarif umum yang berlaku,'' katanya.

Dia mencontohkan, untuk kargo pesawat ke Medan atau Kendari, keluarga almarhum cukup membayar Rp 7,5 juta. Bila menggunakan jasa agen yang lain, bisa lebih dari Rp 15 juta.

''Selama ini orang berduka terlalu dikomersialkan. Makanya, saya memberikan pelayanan mobil jenazah gratis itu,'' ujarnya.

Dalam memberikan pelayanan, Relawan Dibo Piss tak pernah pandang bulu. ''Kami berdiri di atas semua golongan, apa pun agama dan partainya. Mau punya kartu anggota atau nggak punya kartu tetap kami bantu,'' jelasnya.

Dibo pernah mengusulkan, program mobil jenazah gratis itu ke partai politik di Jakarta menjelang Pemilu 2004. Tapi, tidak ada yang menggubris. ''Saya agak kecewa. Padahal, berpolitik itu seharusnya untuk masyarakat,'' ungkap Dibo yang saat Pemilu 2009 maju sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dari DKI Jakarta. Dibo berhasil mengumpulkan 77 ribu suara atau peringkat ke-16 di antara 41 kandidat.

Dibo Digital Printing, termasuk toko aksesori Slank, milik Dibo kini memperkerjakan 20 orang. Sedangkan Relawan Dibo Piss memiliki 15 orang karyawan; dua sebagai petugas sekretariat dan 13 sopir mobil jenazah. Bila petugas sekretariat diberi honor tetap, tidak demikian halnya dengan relawan sopir. ''Mereka (para sopir, Red) baru dapat honor kalau ada 'tugas' ke luar kota,'' ujar Dibo.

Menurut Dibo, setiap bulan rata-rata ada 20-30 persen jenazah yang diantarkan dengan tujuan luar Jakarta. Meskipun tarifnya sudah ditekan hingga 50 persen dari harga umum atau komersial, biasanya masih ada sisa. Setelah dipotong biaya perawatan mobil sepuluh persen, selanjutnya uang itu dibagi lagi. Yang 60 persen masuk kas sekretariat dan 40 persen lagi untuk ''uang lelah'' sopir. ''Kalau mengantar dalam kota, sopir nggak dapat honor,'' tuturnya.

Pelayanan mobil jenazah gratis itu tersedia 24 jam. Sepanjang waktu selalu ada sopir yang stand by. Mereka memberikan pelayanan penuh, mulai rumah sakit, ke rumah duka, hingga ke lokasi pemakaman. ''Nggak ada liburnya, termasuk Lebaran,'' kata Dibo.

Dibo menuturkan, bila dihitung-hitung untuk biaya pengoperasian enam mobil jenazah, kas sekretariat selalu minus. ''Subsidi'' dari mengantarkan jenazah ke luar Jakarta tidak pernah mampu menutupi. Sumbangan dari sejumlah pihak juga tidak terlalu signifikan. Dia mengatakan, selama tujuh bulan terakhir, ada salah satu lembaga amil zakat masjid di Jakarta yang rutin menyumbang Rp 250 ribu. ''Tapi, kami percaya saja dengan pertolongan Tuhan,'' ujarnya. (kum)dikutip dari Jawa post tanggal 5 April 2010